Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang
Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu
bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang
semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut
cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang
mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat
kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa
sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr
Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena
merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih
utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun
keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah
bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman,
‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak
budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah
lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda
miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu
Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah
keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu
berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat
layu.
Lamaran Abu Bakr
ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian
itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah
seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya
membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang
membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al
Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang
melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah
‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan
semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya
Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu
Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..”
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat
sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”,
katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin
isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti,
silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali
lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda
yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin
hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak
yakin.
“Ya. Engkau wahai
saudaraku!”
“Aku hanya pemuda
miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu,
kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap
Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
“Engkau pemuda sejati
wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai
isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh
lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi
menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah
‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”,
kata mereka,
“Eh, maaf kawan..
Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah
berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya
berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi
Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman
sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan!
Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
Dan ternyata tak
kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta
pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu?”
Sambil tersenyum
Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi
ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan
Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah
saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, BAB4)
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, BAB4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar