Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah amal kebaikan yang Allah syari’atkan dan menjadi sebab kokoh dan kemuliaan umat islam. Sebaliknya (mendapatkan kehinaan) bila umat Islam meninggalkan jihad di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shohih ,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ
بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ
وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli ‘inah,
mengambil ekor sapi dan ridho dengan pertanian serta meninggalkan jihad maka
Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya
dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa jihad
melawan orang yang menyelisihi para rasul dan mengarahkan pedang syariat
kepada mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan
mereka untuk menolong para nabi dan rasul, dan untuk menjadi pelajaran berharga
bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian orang-orang yang menyimpang
menjadi kapok, termasuk amalan yang paling utama yang Allah perintahkan kepada
kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri kepadaNya” .
Namun amal kebaikan ini harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai
dengan syariat islam karena kedua hal ini adalah syarat diterima satu amalan.
Di samping juga jihad bukanlah perkara mudah bagi jiwa dan memiliki hubungan
dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta yang menjadi perkara agung dalam Islam
sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ
وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ
هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ
بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ
الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي
كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian diharamkan atas
kalian (saling menzholiminya) seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di
negri kalian ini sampai kalian menjumpai Robb kalian.Ketahuilah apakah aku
telah menyampaikan?” Mereka
menjawab, “Ya”.
Maka beliau pun bersabda,“Ya
Allah persaksikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak
hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar
langsung. Maka janganlah kalian kembali kufur sepeninggalku, sebagian kalian
saling membunuh sebagian lainnya.”(Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikian agungnya perkara jihad ini menuntut setiap muslim
melakukannya untuk menggapai cinta dan keridhoan Allah. Tentu saja hal ini
menuntut pelakunya untuk komitmen terhadap ketentuan dan batasan syari’at,
komitmen terhadap batasan dan hukum Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, merealisasikan target dan tujuan syari’at tanpa
meninggalkan satu ketentuan dan batasannya, agar selamat dari sikap ekstrim dan
berlebihan sehingga jihadnya menjadi jihad syar’i di atas jalan yang lurus dan
dia mendapatkan akibat dan pahala yang besar diakhirat nanti. Hal itu karena ia
berjalan di atas cahaya ilahi, petunjuk dan ilmu dari Al Qur’an dan sunnah
NabiNya shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim
untuk belajar mengenai konsep islam tentang jihad secara benar dan bertanya
kepada para ulama pewaris nabi tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Apalagi
dalam permasalahan yang sangat penting dan berbahaya ini, lagi-lagi di masa
kaum muslimin tidak mengenal syari’atnya dengan benar. Sebab bisa jadi yang
dianggap jihad syar’i sebenarnya adalah jihad bid’ah.
Pengertian
Jihad dalam Pandangan Islam
Kata Jihad berasal dari kata Al Jahd (ُالجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang
bermakna kelelahan dan kesusahan atau dari Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang
bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan kemampuannya.
Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah orang yang mencapai kelelahan
karena Allah dan meninggikan kalimatNya yang menjadikannya sebagai cara dan
jalan menuju surga. Di balik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada
jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu dan
syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar
ma’ruf nahi mungkar.
Sedangkan Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 H) menyatakan, “Jihad
dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang
yang menyusahkan dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad di jalan
Allah. Namun kata jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak
dipahami selain untuk makna memerangi orang kafir dengan pedang sampai masuk
islam atau memberikan upeti dalam keadaan rendah dan hina”
Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728H) mendefinisikan jihad dengan
pernyataan, “Jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan
mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah”
Di tempat lainnya, beliau rahimahullah juga menyatakan, “Jihad hakikatnya
adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan
amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan
dan kemaksiatan”
Tampaknya tiga pendapat di atas sepakat dalam mendefinisikan
jihad menurut syariat islam, hanya saja penggunaan lafadz jihad fi sabilillah
dalam pernyataan para ulama biasanya digunakan untuk makna memerangi orang
kafir. Oleh karena itu, Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al ‘Abaad
menyatakan bahwa definisi terbaik dari jihad adalah definisi Ibnu Taimiyah di
atas dan beliau menyatakan: Dipahami dari pernyataan Ibnu Taimiyah di atas
bahwa jihad dalam pengertian syar’i adalah istilah yang meliputi penggunaan
semua sebab dan cara untuk mewujudkan perbuatan, perkataan dan keyakinan
(i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhoi serta menolak perbuatan, perkataan dan
keyakinan yang Allah benci dan murkai.
Jenis
dan Tingkatan Jihad
Kata jihad bila didengar banyak orang maka konotasinya adalah
jihad memerangi orang kafir. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari bentuk
dan jenis jihad karena pengertian jihad lebih umum dan lebih luas dari hal
tersebut. Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan jenis jihad ditinjau
dari obyeknya dengan menyatakan bahwa jihad memiliki empat tingkatan, yaitu 1)
jihad memerangi hawa nafsu, 2) jihad memerangi syetan, 3) jihad memerangi
orang kafir dan 4) jihad memerangi orang munafik. Namun
dalam keterangan selanjutnya Ibnul Qayyim menambah dengan jihad melawan pelaku
kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran.
Kemudian beliau menjelaskan 13 tingkatan bagi jenis-jenis jihad di
atas dengan menyatakan bahwa jihad
memerangi nafsu memiliki
empat tingkatan:
1. Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengilmuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi manfaat.
3. Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4. Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena Allah.
Apabila telah sempurna empat martabat ini maka ia termasuk Robbaniyyun. Hal ini karena para salaf sepakat menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut Robbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.
1. Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengilmuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi manfaat.
3. Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4. Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena Allah.
Apabila telah sempurna empat martabat ini maka ia termasuk Robbaniyyun. Hal ini karena para salaf sepakat menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut Robbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.
Adapun jihad memerangi syetan memiliki dua tingkatan:
1. Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan arahkan kepada hamba.
2. Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.
Jihad yang pertama (mengatasi syubhat) dilakukan dengan yakin dan jihad yang kedua (mengatasi syahwat) dengan kesabaran. Allah Ta’ala berfirman,
1. Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan arahkan kepada hamba.
2. Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.
Jihad yang pertama (mengatasi syubhat) dilakukan dengan yakin dan jihad yang kedua (mengatasi syahwat) dengan kesabaran. Allah Ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ
بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat Kami.” (QS.
As-Sajdah: 24). Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan
dengan kesabaran dan yakin, lalu dengan kesabaran ia menolak syahwat dan
keinginan rusak dan dengan yakin ia menolak keraguan dan syubhat.
Sedangkan jihad memerangi orang kafir dan
munafik memiliki
4 tingkatan yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang
kafir lebih khusus dengan tangan sedangkan jihad memerangi orang munafiq lebih
khusus dengan lisan.
Sedang jihad memerangi pelaku kezholiman,
kebid’ahan dan kemungkaran memiliki
3 tingkatan yaitu (1) dengan tangan bila mampu, (2) apabila tidak mampu,
berpindah pada lisan, (3) bila juga tidak mampu maka diingkari dengan hati.
Inilah tiga belas martabat jihad dan barang siapa yang meninggal
dan belum berperang dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang maka
meninggal diatas satu cabang kemunafiqan
Dari
keterangan Ibnul Qayyim di atas dapat diambil beberapa pelajaran:
1. Banyak kaum muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad
memerangi orang kafir saja, ini adalah pemahaman parsial.
2. Sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi untuk taat kepada
Allah dengan cara memerangi jiwa untuk menuntut ilmu dan memahami agama (din)
Islam dengan memahami Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf
sholeh. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya, karena maksud
tujuan ilmu adalah diamalkan. Setelah itu barulah ia memerangi jiwa untuk
berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal lalu bersabar dari semua
gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad
memerangi nafsu yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari selainnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Jihad memerangi musuh
Allah yang di luar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana
sabda nabi shallallahu
‘alaih wa sallam,
وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي
طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam
ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan
Allah.” (HR.
Ahmad 6/21, sanadnya shahih, -ed)
Maka jihad memerangi jiwa didahulukan dari jihad memerangi
musuh-musuh Allah yang di luar (jiwa), dan menjadi induknya. Karena orang yang
belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan serta belum memeranginya di jalan Allah, maka ia
tidak dapat memerangi musuh yang di luar. Bagaimana ia mampu berjihad memerangi
musuhnya padahal musuhnya yang di sampingnya berkuasa dan menjajahnya serta
belum ia jihadi dan perangi. Bahkan tidak mungkin ia dapat berangkat memerangi
musuhnya sebelum ia berjihad memerangi jiwanya untuk berangkat berjihad?”
Jihad memerangi jiwa hukumnya wajib atau fardhu ‘ain tidak bisa diwakili orang lain, karena jihad ini berhubungan dengan pribadi setiap orang.
3. Para ulama menjelaskan bahwa pintu syetan menggoda manusia ada dua yaitu syahwat dan syubhat. Syetan mendatangi manusia dan melihat apabila ia seorang yang lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada Allah, maka syetan menariknya melalui jalan atau pintu syahwat. Bila syetan mendapatinya sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya maka dia akan menariknya dari pintu syubhat, keraguan dan menjerumuskannya kepada kebid’ahan [16].
Jihad memerangi jiwa hukumnya wajib atau fardhu ‘ain tidak bisa diwakili orang lain, karena jihad ini berhubungan dengan pribadi setiap orang.
3. Para ulama menjelaskan bahwa pintu syetan menggoda manusia ada dua yaitu syahwat dan syubhat. Syetan mendatangi manusia dan melihat apabila ia seorang yang lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada Allah, maka syetan menariknya melalui jalan atau pintu syahwat. Bila syetan mendapatinya sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya maka dia akan menariknya dari pintu syubhat, keraguan dan menjerumuskannya kepada kebid’ahan [16].
Jihad melawan syetan ini hukumnya fardhu ‘ain juga karena
berhubungan langsung dengan setiap pribadi manusia, sebagaimana firman Allah,
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ
فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً
“Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka
anggaplah ia musuh(mu).” (QS.
Fathir: 6)
4. Jihad melawan orang kafir dan munafik
dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa sebagaimana disabdakan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam
hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud no. 2504, An
Nasai no. 3096 dan Ahmad 3/124. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih
Pengertian jihad dengan hati melawan orang kafir dan munafik
adalah membenci mereka dan tidak memberikan loyalitas dan kecintaan serta
senang dengan kerendahan dan kehinaan mereka dan sikap lainnya yang ada dalam
Al Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan hati.
Pengertian jihad dengan lisan adalah dengan mejelaskan
kebenaran, membantah kesesatan dan kebatilan-kebatilan mereka dengan hujjah dan
bukti kongkrit.
Pengertian jihad dengan harta adalah dengan menafkahkan harta di
jalan Allah dalam perkara jihad perang atau dakwah serta menolong dan membantu
kaum muslimin. Adapun jihad dengan jiwa maksudnya adalah memerangi mereka
dengan tangan dan senjata sampai mereka masuk islam atau kalah, sebagaimana
firman Allah,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى
الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim.” (QS.
Al-Baqarah: 193)
Dan firmanNya,
Dan firmanNya,
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”(QS.
At-Taubah: 29)
Kaum kafir dan munafik diperangi dengan keempat jihad di atas.
Namun kaum kafir lebih khusus dihadapi dengan tangan karena permusuhannya
terang-terangan. Sedangkan munafik khusus dihadapi dengan lisan karena
permusuhannya tersembunyi dan gamang dalam keadaan mereka di bawah kekuasaan
kaum muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan asli
mereka serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar orang-orang tahu hal itu dan
berhati-hati dari mereka dan dari terjerumus pada kemunafikan tersebut.
5. Ibnul Qayyim mengutarakan bahwa jihad
memerangi pelaku kezaliman, kebid’ahan dan kemungkaran dilakukan dengan tiga
tingkatan, yaitu (1) dengan tangan, (2) bila tidak mampu maka dengan lisan, dan
(3) bila tidak mampu juga maka dengan hati. Hal ini didasarkan pada
hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang
berbunyi,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya.
Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu juga maka dengan
hatinya dan itulahselemah-lemahnya iman.”(HR Muslim).
Setiap muslim dituntut berjihad menghadapi pelaku perbuatan
zhalim, bid’ah dan mungkar sesuai dengan kemampuannya dan dengan memperhatikan
kaedah-kaedah amar ma’ruf nahi mungkar. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan dalam hadits Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي
إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ
بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ
خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ
جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ
مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ
مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang
nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku kecuali memiliki
pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh
sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, kemudian datang generasi-generasi
pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka amalkan dan mengamalkan
yang tidak diperintahkan. Siapa yang menghadapi mereka dengan tangannya maka ia
seorang mukmin, siapa yang menghadapi mereka dengan lisannya maka ia seorang
mukmin, dan siapa yang menghadapi mereka dengan hatinya maka ia seorang mukmin.
Tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari iman.” (HR. Muslim, Kitab Al
Iman no. 71)
Setiap muslim pasti mampu melakukan jihad jenis ini dengan
hatinya dan itu dengan cara mengingkari dan membenci kebid’ahan, kezhaliman dan
kemungkaran dengan hatinya dan berharap hilangnya hal-hal tersebut.
Maksud
Tujuan Jihad
Satu kepastian bahwa Allah tidak mewajibkan dan mensyariatkan
sesuatu tanpa adanya maksud tujuan yang agung. Demikian juga jihad disyariatkan
untuk tujuan-tujuan tertentu yang telah dijelaskan para ulama dalam
pernyataan-pernyataan mereka. Di sini akan disampaikan sebagian pernyataan tersebut
agar dapat kita petik maksud dan tujuan jihad dalam Islam.
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,
”Maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya
hanya untuk Allah”
2. Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Maksud tujuan jihad
adalah agar tidak ada yang disembah kecuali Allah, sehingga tidak ada seorang
pun yang berdoa, sholat, sujud dan puasa untuk selain Allah. Tidak berumroh dan
berhaji kecuali ke rumahNya (Ka’bah), tidak disembelih sembelihan kecuali
untukNya dan tidak bernazar dan bersumpah kecuali denganNya …”
3. Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Sa’di
menyatakan, “Jihad ada dua jenis. Pertama, jihad dengan tujuan untuk kebaikan
dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah, akhlak, adab (prilaku) dan seluruh
perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka baik ilmiyah dan
amaliyah. Jenis ini adalah induk jihad dan tonggaknya, serta menjadi dasar bagi
jihad yang kedua yaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang islam dan
kaum muslimin dari kalangan orang kafir, munafik, mulhid dan seluruh
musuh-musuh agama dan menentang mereka”
4. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz menyatakan,
“Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad ath tholab (attack/ menyerang) dan jihad ad daf’u (defence/ bertahan). Maksud
tujuan keduanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang
mengikutinya, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan
meninggikan agama Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk
Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqarah,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى
الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim.” (QS.
Al-Baqarah: 193)
Dan dalam surat Al Anfal,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya
agama itu semata-mata untuk Allah.”(QS. Al-Anfal: 39), dan ayat
yang semakna dengannya banyak.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri
menyatakan,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى
يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا
مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan bahwa tidak sesembahan yang
berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad utusannya, menegakkan sholat dan
menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat demikian maka darah dan harta
mereka telah terjaga dariku kecuali dengan hak islam, dan hisab mereka
diserahkan kepada Allah.” (Muttafaqun
Alaihi)
Dari keterangan para ulama di atas jelaslah bahwa maksud tujuan
disyariatkannya jihad adalah untuk menegakkan agama Islam di muka bumi ini dan
bukan untuk dendam pribadi atau golongan sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan
tentang konsep islam dalam jihad baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan
harta rampasan perang sebagai satu konsekwensi dari pelaksanaan jihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar